BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi ‘Adat/’Urf
Sebuah adat kebiasaan bisa dijadikan Sandaran Hukum Kaidah
Fiqh. Seperti yang dijelaskan oleh Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf bahwa
makna kaidah secara bahasa “ Al adatu “ (العادة) terambil dari kata “ al audu” (العودdan “ al muaawadatu “ ( الموادة) yang berarti “pengulangan”. Oleh karena itu, secara
bahasa al-’adah berarti perbuatan atau ucapan serta lainnya yang dilakukan
berulang-ulang sehingga mudah untuk dilakukan karena sudah menjadi kebiasaan.
Menurut jumhur ulama, batasan minimal sesuatu itu bisa
dikatakan sebagai sebuah ‘adah’ adalah kalau dilakukan selama tiga kali secara
berurutan. Sedangkan “Mukhakkamatun” secara bahasa adalah isim maf’uI
dari “takhkiimun” yang berarti “menghukumi dan memutuskan perkara
manusia.” Jadi arti kaidah ini secara bahasa adalah sebuah adat kebiasaan
itu bisa dijadikan sandaran untuk memutuskan perkara perselisisihan antara
manusia.
Kata ‘urf dalam bahasa Indonesia
sering disinonimkan dengan “adat kebiasaan” namun para ulama membahas kedua
kata ini dengan panjang lebar, ringkasnya: AI-’Urf adalah sesuatu yang diterima
oleh tabiat dan akal sehat manusia. Demikianlah yang di katakan oleh Imam
al-Jurjani dalam at-Ta’rifat hal. 154, kemudian beliau berkata: “Begitu jugalah
makna Al ‘Adah”. Meskipun arti kedua kata ini agak berbeda namun kalau kita
lihat dengan jeli, sebenarnya keduanya adalah dua kalimat yang apabila
bergabung akan berbeda arti namun ápabila berpisah maka artinya sama, seperti
halnya kata “Islam” dengan “Iman”. Al-‘adat dan ‘Urf seperti halnya suatu
rangkaian dimana ‘Urf merupakan penguat dari Al-‘adat.
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa makna kaidah
ini menurut istilah para ulama adalah bahwa sebuah adat kebiasaan dan ‘urf itu
bisa dijadikan sebuah sandaran untuk menetapkan hukum syar’i apabila tidak
terdapat nash syar’i atau lafadh shorih (tegas) yang bertentangan dengannya.
Syaikh as-Sa’di dalam al-Qowa’id al-Jami’ah (hal. 35) mengatakan bahwa: ”Urf
dan adat kebiasaan dijadikan rujukan dalam semua hukum syar’i yang belum ada
ketentuannya.”
Definisi lain mengatakan bahwa al ‘urf yaitu apa yang
saling diketahui dan yang saling dijalani orang dan telah menjadi tradisi. Baik
berupa perkataan, perbuatan, atau hal yang meninggalkan sesuatu dinamakan juga
sebagai ‘adat. Oleh karena itu bisa disimpulkan bahwa tidak ada
perbedaan antara ‘urf dan ‘adat. Tetapi ada sebagian ulama ushul fiqh yang
membedakan antara adat dengan ‘urf dalam membahas kedudukannya sebagai salah
satu dalil untuk menetapkan hukum syara’.
Sebagian ulama ushul fiqh mendefinisikan ‘urf/‘adat dengan:
الأمر المتكرر من غير علا قة عقلي
“sesuatu
yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional”.
Definisi di atas menunjukkan bahwa bila sesuatu dilakukan
secara berulang-ulang menurut hukum akal, tidak dinamakan adat. Definisi ini
juga menunjukkan bahwa adat itu mencakup persoalan yang amat luas, yang
menyangkut masalah pribadi, seperti kebiasaan seseorang dalam makan, tidur, dan
mengkonsumsi jenis makanan tertentu. Adat juga bisa muncul dari sebab alami
seperti cepatnya seorang anak menjadi baligh di daeran tropis, dan di daerah
dingin terjadi kelambatan seseorang menjadi baligh. Di samping itu adat juga
bisa muncul dari hawa nafsu dan kerusakan akhlak seperti korupsi.
Definisi lain yang membedakan al ‘urf dan ‘adat adalah:
عادة جمهورقوم في قول أوفعل
“Kebiasan
mayoritas kaum baik dalam perkataan atau perbuatan”.
Berdasarkan definisi ini, Musthofa al-Zarqa’ (guru besar
Fiqh Islam di Yordania), mengatakan bahwa ‘urf merupakan bagian dari adat,
karena adat lebih umum dari ‘urf. Suatu ‘urf menurutnya harus berlaku pada
kebanyakan orang di daerah tertentu, bukan pada pribadi atau kelompok tertentu
dan ‘urf bukanlah kebiasaan alami sebagaimana yang berlaku dalam kebanyakan
adat, tetapi muncul dari suatu pemikiran dan pengalaman, seperti kebiasaan
mayoritas masyarakat pada daerah tertentu yang menetapkan bahwa untuk memenuhi
kebutuhan rumah tangga pada suatu perkawinan bisa diambil dari mas kawin yang
diberikan suami dan penetapan ukuran tertentu dalam penjualan makanan.
Selain itu, bagi mereka yang membedakan Al-‘dat dan ‘Urf,
mereka melihat dari segi maknanya. Al-‘adat bermakna pengulangan. Suatu hal
yang tidak dilakukan berulang atau hanya pernah dilakukan sekali, tidak bias
dikatakan Al-‘adat. Yang dititikberatkan dalam hal ini adalah seberapa banyak
hal tersebut dilakukan. Sedangkan ‘Urf tidak dilihat dari segi
‘pengulangannya’. Asalkan sesuatu itu dikenal dan dinilai baik serta diterima
orang banyak, meskipun hanya pernah dilakukan sekali, maka sudah bisa dikatakan
‘Urf.
B.
Alasan
dijadikannya ‘Adat sebagai dalil
1. Hadist nabi yang berbunyi:
ما رأه المسلم حسنا فهو عند الله حسن
“Apa
yang dianggap baik oleh orang-orang Islam, maka hal itu pula baik di sisi
Allah”
Hadist
tersebut juga berkaitan dengan firman Allah dalam surah Al-Hajj ayat 78 yang
berbunyi:
ما جعل عليكم في الد ين من حرجت
“Dan
Allah tidak menyempitkan kamu dalam urusan agama”
Selain
itu, Imam al-Sarkhasyi dalam kitab Al-Masbuth juga mengemukakan:
الثا بت بالعرف كالثا بث بالناس
“Sesungguhnya
yang ditetapkan ‘urf, seperti yang ditetapkan dalil nash”
Dari
hadist dan firman di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa segala sesuatu yang
dianggap baik dan diterima dalam suatu masyarakat, maka hal tersebut juga akan
baik menurut Allah karena apabila hal tersebut tidak dilakukan, maka akan
menimbulkan kesulitan dalam masyarakat tersebut. Selain itu, segala yang telah
ditetapkan dalam adat sama halnya dengan yang telah ditetapkan oleh dalil dalam
nash yang masalah yang tidak terdapat nash dalam penyelesaiannya.
2.
Hukum Islam dalam kitab memelihara hukum-hukum Arab yang maslahat seperti
menghormati tamu, dan sebagainya.
3. Al-‘adat merupakan kebiasaan
manuasia, baik merupakan perbuatan maupun perkataan. Dimana hal tersebut
berjalan sesuai dengan aturan hidup manusia dan kebutuhannya.
C.
Syarat-syarat
menggunakan ‘Adat
Dalam menggunakan suatu ‘adat sebagai hujjah, ada
batasan-batasan atau syarat yang harus dipenuhi oleh ‘adat itu sendiri. Hal
tersebut sangat diperlukan agar seseorang tidak sembarangan menggunakan ‘adat
tersebut. Berikut ini adalah syarat-syaratnya:
1. ‘Adat yang digunakan tersebut tidak
bertentangan dengan nash yang telah jelas; baik Al-Qur’an maupun hadist
2. Al ‘Adat tersebut tidak mengandung
kemafsadatan, tidak menimbulkan kesulitan ataupun menghilangkan
kemaslahatanketika diaplikasikan
3. ‘Adat itu secara umum telah
dilakukan oleh umat Islam (muslimin) bukan hanya yang biasa dilakukan satu atau
dua orang saja.
4. ‘Adat yang dimaksud tidak belaku
untuk ibadah mahdlah.
Jika
dilihat dari segi syarat-syaratnya, maka penggunaan ‘Adat hampir sama dengan
maslahah mursalah. Bedanya adalah ‘adat merupakan hal yang sudah merupakan
kebiasaan yang dilakukan oleh manusia pada umumnya dan memenuhi syarat diatas
(Al-‘adat al-shahih), sedangkan maslahah mursalah bisa digunakan untuk sesuatu
atau hal yang belum biasa dilakukan sebelumnya.
Selain
itu, perlu diketahui bahwasanya Al-‘adat berbeda dengan ijma’, meskipun
sama-sama membutuhkan kuantitaas pelaku dari sesuatu tersebut. Hal yang
membedakan kedua hal itu adalah:
1. Dalam ‘Adat diperlukan persesuaian
di antara banyak orang; baik orang tersebut adalah orang baik maupun orang
biasa, pandai, ahli ijtihad atau orang bodoh. Hal tersebut tidak terlalu
diperhitungkan. Namun, dalam ijma’ perlu kebulatan pendapat dari para ahli
jima’ saja.
2. Penyimpangan yang dilakukan beberapa
orang dalam’Adat tidak menggugurkan atau mempengaruhi nilai ‘ada tersebut.
Sebaliknya, perbedaan pendapat seorang mujtahid saja dalam ijma’ dapat
membatalkan keabsahan ijma’.
3. Nilai hukum yang dihasilkan dengan
ijma’ yang shahih sama dengan hukum yang sandarannya adalah nash. Sedangkan
hukum yang dihasilkan dengan ‘Adat, bisa berubah sesuai dengan perubahan yang
terjadi pada ‘adat itu sendiri dan kekuasaannya pun tidak sebanding dengan
hukum yang sandarannya ijma’ atau nash.
D.
Macam-macam
‘Adat
Para ulama ushul fiqh membagi ‘urf dalam tiga bagian besar
yang mana di dalamnya dibagi lagi jadi beberapa bagian di masing-masing bagian
besar
1. Segi objeknya
-
Al ‘urf al lafzhi
Al
‘urf العرف اللفظيlafzhi adalah kebiasaan masyarakat
dalam menggunakan lafal/ungkapan tertentu dalam mengungkapkan sesuatu, sehingga
makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dalam pikiran masyarakat.
Misalnya ungkapan “daging” yang berarti daging sapi; padahal kata daging
mencakup semua jenis daging yang ada. Apabila seseorang mendatangi penjual
daging, sedangkan penjual itu memiliki berbagai macam daging, lalu pembeli
mengatakan “saya beli daging satu kilogram”, pedagang akan langsung
mengambilkan daging sapi, karena kebiasaan masyarakat setempat telah
mengkhususkan penggunaan kata daging pada daging sapi. Contoh lain, orang-orang
biasanya cenderung mengatakan walad untuk anak laki-laki saja. Padahal walad
tersebut dapat bermakna anak; baik laki-laki maupun perempuan.
Apabila
dalam memahami ungkapan tersebut diperlukan indikator lain, maka tidak
dinamakan ‘urf, misalnya, seseorang datang dalam keadaan marah dan di
tangannya ada tongkat kecil, seraya berucap “jika saya bertemu dia saya akan
bunuh dia dengan tongkat ini”. Dari ucapan ini dipahami bahwa yang dia maksud
dengan membunuh tersebut adalah memukulnya dengan tongkat. Ungkapan seperti
ini, menurut ‘Abdul ‘Aziz al Khayyat (guru besar Fiqh di Universitas
Amman, Yordania), tidak dinamakan ‘urf , tetapi termasuk dalam majaz
(metafora).
-
Al ‘urf ‘amali
‘Urf
‘amali adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau
mu’amalah keperdataan. Yang dimaksud dengan “perbuatan biasa” adalah perbuatan
masyarakat dalam kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang
lain, seperti kebiasaan libur kerja pada hari-hari tertentu dalam satu minggu,
kebiasaan masyarkat tertentu memakan makanan khusus atau minuman tertentu dalam
acara khusus. Contoh lain, Misalnya, dalam melakukan transaksi jual beli barang
seperti gula atau garam. Orang-orang (penjual maupun pembeli) biasa tidak
mengucapkan ijab qobul saat melakukan serah-terima barang.
2. Segi cakupannya
-
Al ‘urf al ‘am
Al’
urf al ‘am العرف العام yaitu Sesuatu tersebut merupakan suatu kebiasaan yang memang
biasa dilakukan oleh orang banyak atau dilakukan oleh orang-orang di setiap
tempat maupun di berbagai lapisan masyarakat. Misalnya, memesan barang yang
belum jadi atau ada pada saat itu. Contoh lain urf yaitu dalam penggunaan kamar
mandi di tempat umum dengan tarif harga tertentu, namun batas penggunaan waktu
dan jumlah pemakaian air tidak ditentukan. Kebiasaan seperti ini berlaku hampir
di setiap daerah atau paling tidak berlaku tidak hanya di dalam satu daerah
saja.
-
Al ‘urf al khash
Al
‘urf al khash العرف الخاص yaitu urf yang berlaku hanya di daerah tertentu saja atau
bahkan hanya pada satu wilayah. Dimana urf itu mungkin tidak berlaku di daerah
lain. Seperti kebiasaan seorang calon suami memberi sesuatu kepada tunangannya
ketika melakukan khitbah/ta’aruf
3. Segi keabsahannya
-
Al ‘urf al shohih
Adat
yang benar (shahih) Yaitu suatu kebiasaan yang dianggap benar dan dikenal baik
dalam suatu masyarakat. Hal itu juga tidak menentang nash yang telah jelas dan
ada serta tidak menjadikan yang halal menjadi haram ataupun sebaliknya. Seperti
anggapan bahwa apa yg diberikan pihak laki-laki kepada calon istri ketika
khitbah dianggap hadiah, bukan mahar.
-
Al ‘urf al fasid
Adat
yang salah (fasid) Yaitu ‘adat (kebiasaan) yang dipakai tidak memenuhi salah
satu syarat yang telah disebutkan di atas. Dalam hal ini, kebiasaan itu telah
ada dan diakui dalam suatu masyarakat, namun bertentangan dengan ajaran Islam.
‘Adat yang dimaksud ini seringkali bertentangan dengan nash yang qath’i,
sehingga tidak dapat dijadikan dalil untuk meng-istinbath-kan hukum. Misalnya,
perbuatan-perbuatan yang munkar yang telah menjadi tradisi. Seperti tari perut
di Mesir saat pesta perkawinan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas
kami dapat menyimpulkan bahwa secara
bahasa al-’adah berarti perbuatan atau ucapan serta lainnya yang dilakukan
berulang-ulang sehingga mudah untuk dilakukan karena sudah menjadi kebiasaan
sedangkan Kata
‘urf dalam bahasa Indonesia sering disinonimkan dengan “adat kebiasaan” namun
para ulama membahas kedua kata ini dengan panjang lebar, ringkasnya: AI-’Urf
adalah sesuatu yang diterima oleh tabiat dan akal sehat manusia dan didalam
‘adat mempunyai beberapa macam yang bisa dilihat dari 3 segi yang berbeda yaitu
segi objeknya,segi cakupannya dan segi keabsahannya.
DAFTAR PUSTAKA
Khallaf, Syekh Abdul Wahab. 2005. Ilmu
Usul Fiqh. Jakarta; Rineka Cipta
Aen. M. A., Dr. I. Nurol dan Prof.
Drs. H. A. Djazuli. 2000. Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam. Jakarta; PT Raja Grafindo Persada
Haroen, M. A., DR. H. Nasrun. 1997. Ushul
Fiqh. Jakarta; Logos Wacana Ilmu
Syarifuddin, Prof. DR. Amir. 2004. Ushul
Fiqh Metode Mengkaji Dan Memahami Hukum Islam Secara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar