Rabu, 17 Juni 2015

‘Adat/’Urf



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi ‘Adat/’Urf

Sebuah adat kebiasaan bisa dijadikan Sandaran Hukum Kaidah Fiqh. Seperti yang dijelaskan oleh Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf bahwa makna kaidah  secara bahasa “ Al adatu “ (العادة) terambil dari kata “ al audu” (العودdan “ al muaawadatu “ ( الموادة) yang berarti “pengulangan”. Oleh karena itu, secara bahasa al-’adah berarti perbuatan atau ucapan serta lainnya yang dilakukan berulang-ulang sehingga mudah untuk dilakukan karena sudah menjadi kebiasaan.
Menurut jumhur ulama, batasan minimal sesuatu itu bisa dikatakan sebagai sebuah ‘adah’ adalah kalau dilakukan selama tiga kali secara berurutan. Sedangkan “Mukhakkamatun” secara bahasa adalah isim maf’uI dari “takhkiimun” yang berarti “menghukumi dan memutuskan perkara manusia.” Jadi arti kaidah ini secara bahasa adalah sebuah adat kebiasaan itu bisa dijadikan sandaran untuk memutuskan perkara perselisisihan antara manusia.
Kata ‘urf dalam bahasa Indonesia sering disinonimkan dengan “adat kebiasaan” namun para ulama membahas kedua kata ini dengan panjang lebar, ringkasnya: AI-’Urf adalah sesuatu yang diterima oleh tabiat dan akal sehat manusia. Demikianlah yang di katakan oleh Imam al-Jurjani dalam at-Ta’rifat hal. 154, kemudian beliau berkata: “Begitu jugalah makna Al ‘Adah”. Meskipun arti kedua kata ini agak berbeda namun kalau kita lihat dengan jeli, sebenarnya keduanya adalah dua kalimat yang apabila bergabung akan berbeda arti namun ápabila berpisah maka artinya sama, seperti halnya kata “Islam” dengan “Iman”. Al-‘adat dan ‘Urf seperti halnya suatu rangkaian dimana ‘Urf merupakan penguat dari Al-‘adat.
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa makna kaidah ini menurut istilah para ulama adalah bahwa sebuah adat kebiasaan dan ‘urf itu bisa dijadikan sebuah sandaran untuk menetapkan hukum syar’i apabila tidak terdapat nash syar’i atau lafadh shorih (tegas) yang bertentangan dengannya. Syaikh as-Sa’di dalam al-Qowa’id al-Jami’ah (hal. 35) mengatakan bahwa: ”Urf dan adat kebiasaan dijadikan rujukan dalam semua hukum syar’i yang belum ada ketentuannya.”

Definisi lain mengatakan bahwa al ‘urf yaitu apa yang saling diketahui dan yang saling dijalani orang dan telah menjadi tradisi. Baik berupa perkataan, perbuatan, atau hal yang meninggalkan sesuatu dinamakan juga sebagai ‘adat. Oleh karena itu bisa disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan antara ‘urf dan ‘adat. Tetapi ada sebagian ulama ushul fiqh yang membedakan antara adat dengan ‘urf dalam membahas kedudukannya sebagai salah satu dalil untuk menetapkan hukum syara’.
Sebagian ulama ushul fiqh mendefinisikan ‘urf/‘adat dengan:
 الأمر المتكرر من غير علا قة عقلي
“sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional”.
Definisi di atas menunjukkan bahwa bila sesuatu dilakukan secara berulang-ulang menurut hukum akal, tidak dinamakan adat. Definisi ini juga menunjukkan bahwa adat itu mencakup persoalan yang amat luas, yang menyangkut masalah pribadi, seperti kebiasaan seseorang dalam makan, tidur, dan mengkonsumsi jenis makanan tertentu. Adat juga bisa muncul dari sebab alami seperti cepatnya seorang anak menjadi baligh di daeran tropis, dan di daerah dingin terjadi kelambatan seseorang menjadi baligh. Di samping itu adat juga bisa muncul dari hawa nafsu dan kerusakan akhlak seperti korupsi.
     Definisi lain yang membedakan al ‘urf dan ‘adat adalah:
  عادة جمهورقوم في قول أوفعل
Kebiasan mayoritas kaum baik dalam perkataan atau perbuatan”.
Berdasarkan definisi ini, Musthofa al-Zarqa’ (guru besar Fiqh Islam di Yordania), mengatakan bahwa ‘urf merupakan bagian dari adat, karena adat lebih umum dari ‘urf. Suatu ‘urf menurutnya harus berlaku pada kebanyakan orang di daerah tertentu, bukan pada pribadi atau kelompok tertentu dan ‘urf bukanlah kebiasaan alami sebagaimana yang berlaku dalam kebanyakan adat, tetapi muncul dari suatu pemikiran dan pengalaman, seperti kebiasaan mayoritas masyarakat pada daerah tertentu yang menetapkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga pada suatu perkawinan bisa diambil dari mas kawin yang diberikan suami dan penetapan ukuran tertentu dalam penjualan makanan.
Selain itu, bagi mereka yang membedakan Al-‘dat dan ‘Urf, mereka melihat dari segi maknanya. Al-‘adat bermakna pengulangan. Suatu hal yang tidak dilakukan berulang atau hanya pernah dilakukan sekali, tidak bias dikatakan Al-‘adat. Yang dititikberatkan dalam hal ini adalah seberapa banyak hal tersebut dilakukan. Sedangkan ‘Urf tidak dilihat dari segi ‘pengulangannya’. Asalkan sesuatu itu dikenal dan dinilai baik serta diterima orang banyak, meskipun hanya pernah dilakukan sekali, maka sudah bisa dikatakan ‘Urf.

B.    Alasan dijadikannya ‘Adat sebagai dalil

1.    Hadist nabi yang berbunyi:
ما رأه المسلم حسنا فهو عند الله حسن
“Apa yang dianggap baik oleh orang-orang Islam, maka hal itu pula baik di sisi Allah”
Hadist tersebut juga berkaitan dengan firman Allah dalam surah Al-Hajj ayat 78 yang berbunyi:
ما جعل عليكم في الد ين من حرجت
“Dan Allah tidak menyempitkan kamu dalam urusan agama”
Selain itu, Imam al-Sarkhasyi dalam kitab Al-Masbuth juga mengemukakan:
الثا بت بالعرف كالثا بث بالناس
“Sesungguhnya yang ditetapkan ‘urf, seperti yang ditetapkan dalil nash”
Dari hadist dan firman di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa segala sesuatu yang dianggap baik dan diterima dalam suatu masyarakat, maka hal tersebut juga akan baik menurut Allah karena apabila hal tersebut tidak dilakukan, maka akan menimbulkan kesulitan dalam masyarakat tersebut. Selain itu, segala yang telah ditetapkan dalam adat sama halnya dengan yang telah ditetapkan oleh dalil dalam nash yang masalah yang tidak terdapat nash dalam penyelesaiannya.

2. Hukum Islam dalam kitab memelihara hukum-hukum Arab yang maslahat seperti menghormati tamu, dan sebagainya.
3.    Al-‘adat merupakan kebiasaan manuasia, baik merupakan perbuatan maupun perkataan. Dimana hal tersebut berjalan sesuai dengan aturan hidup manusia dan kebutuhannya.



C.    Syarat-syarat menggunakan ‘Adat

Dalam menggunakan suatu ‘adat sebagai hujjah, ada batasan-batasan atau syarat yang harus dipenuhi oleh ‘adat itu sendiri. Hal tersebut sangat diperlukan agar seseorang tidak sembarangan menggunakan ‘adat tersebut. Berikut ini adalah syarat-syaratnya:
1.    ‘Adat yang digunakan tersebut tidak bertentangan dengan nash yang telah jelas; baik Al-Qur’an maupun hadist
2.    Al ‘Adat tersebut tidak mengandung kemafsadatan, tidak menimbulkan kesulitan  ataupun menghilangkan kemaslahatanketika diaplikasikan
3.    ‘Adat itu secara umum telah dilakukan oleh umat Islam (muslimin) bukan hanya yang biasa dilakukan satu atau dua orang saja.
4.    ‘Adat yang dimaksud tidak belaku untuk ibadah mahdlah.

Jika dilihat dari segi syarat-syaratnya, maka penggunaan ‘Adat hampir sama dengan maslahah mursalah. Bedanya adalah ‘adat merupakan hal yang sudah merupakan kebiasaan yang dilakukan oleh manusia pada umumnya dan memenuhi syarat diatas (Al-‘adat al-shahih), sedangkan maslahah mursalah bisa digunakan untuk sesuatu atau hal yang belum  biasa dilakukan sebelumnya.
Selain itu, perlu diketahui bahwasanya Al-‘adat berbeda dengan ijma’, meskipun sama-sama membutuhkan kuantitaas pelaku dari sesuatu tersebut. Hal yang membedakan kedua hal itu adalah:
1.    Dalam ‘Adat diperlukan persesuaian di antara banyak orang; baik orang tersebut adalah orang baik maupun orang biasa, pandai, ahli ijtihad atau orang bodoh. Hal tersebut tidak terlalu diperhitungkan. Namun, dalam ijma’  perlu kebulatan pendapat dari para ahli jima’ saja.
2.    Penyimpangan yang dilakukan beberapa orang dalam’Adat tidak menggugurkan atau mempengaruhi nilai ‘ada tersebut. Sebaliknya, perbedaan pendapat seorang mujtahid saja dalam ijma’ dapat membatalkan keabsahan ijma’.
3.    Nilai hukum yang dihasilkan dengan ijma’ yang shahih sama dengan hukum yang sandarannya adalah nash. Sedangkan hukum yang dihasilkan dengan ‘Adat, bisa berubah sesuai dengan perubahan yang terjadi pada ‘adat itu sendiri dan kekuasaannya pun tidak sebanding dengan hukum yang sandarannya ijma’ atau nash.
D.    Macam-macam ‘Adat

Para ulama ushul fiqh membagi ‘urf dalam tiga bagian besar yang mana di dalamnya dibagi lagi jadi beberapa bagian di masing-masing bagian besar
1.    Segi objeknya
-        Al ‘urf al lafzhi
Al ‘urf  العرف اللفظيlafzhi adalah kebiasaan masyarakat dalam menggunakan lafal/ungkapan tertentu dalam mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dalam pikiran masyarakat. Misalnya ungkapan “daging” yang berarti daging sapi; padahal kata daging mencakup semua jenis daging yang ada. Apabila seseorang mendatangi penjual daging, sedangkan penjual itu memiliki berbagai macam daging, lalu pembeli mengatakan “saya beli daging satu kilogram”, pedagang akan langsung mengambilkan daging sapi, karena kebiasaan masyarakat setempat telah mengkhususkan penggunaan kata daging pada daging sapi. Contoh lain, orang-orang biasanya cenderung mengatakan walad untuk anak laki-laki saja. Padahal walad tersebut dapat bermakna anak; baik laki-laki maupun perempuan.
Apabila dalam memahami ungkapan tersebut diperlukan indikator lain, maka tidak dinamakan ‘urf, misalnya, seseorang datang dalam keadaan marah dan di tangannya ada tongkat kecil, seraya berucap “jika saya bertemu dia saya akan bunuh dia dengan tongkat ini”. Dari ucapan ini dipahami bahwa yang dia maksud dengan membunuh tersebut adalah memukulnya dengan tongkat. Ungkapan seperti ini, menurut ‘Abdul ‘Aziz  al Khayyat (guru besar Fiqh di Universitas Amman, Yordania), tidak dinamakan ‘urf , tetapi termasuk dalam majaz (metafora).
-        Al ‘urf ‘amali
‘Urf ‘amali adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau mu’amalah keperdataan. Yang dimaksud dengan “perbuatan biasa” adalah perbuatan masyarakat dalam kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain, seperti kebiasaan libur kerja pada hari-hari tertentu dalam satu minggu, kebiasaan masyarkat tertentu memakan makanan khusus atau minuman tertentu dalam acara khusus. Contoh lain, Misalnya, dalam melakukan transaksi jual beli barang seperti gula atau garam. Orang-orang  (penjual maupun pembeli) biasa tidak mengucapkan ijab qobul saat melakukan serah-terima barang.


2.    Segi cakupannya
-        Al ‘urf al ‘am
Al’ urf al ‘am العرف العام yaitu Sesuatu tersebut merupakan suatu kebiasaan yang memang biasa dilakukan oleh orang banyak atau dilakukan oleh orang-orang di setiap tempat maupun di berbagai lapisan masyarakat. Misalnya, memesan barang yang belum jadi atau ada pada saat itu. Contoh lain urf yaitu dalam penggunaan kamar mandi di tempat umum dengan tarif harga tertentu, namun batas penggunaan waktu dan jumlah pemakaian air tidak ditentukan. Kebiasaan seperti ini berlaku hampir di setiap daerah atau paling tidak berlaku tidak hanya di dalam satu daerah saja.
-        Al ‘urf al khash
Al ‘urf al khash العرف الخاص yaitu urf yang berlaku hanya di daerah tertentu saja atau bahkan hanya pada satu wilayah. Dimana urf itu mungkin tidak berlaku di daerah lain. Seperti kebiasaan seorang calon suami memberi sesuatu kepada tunangannya ketika melakukan khitbah/ta’aruf
3.    Segi keabsahannya
-        Al ‘urf al shohih
Adat yang benar (shahih) Yaitu suatu kebiasaan yang dianggap benar dan dikenal baik dalam suatu masyarakat. Hal itu juga tidak menentang nash yang telah jelas dan ada serta tidak menjadikan yang halal menjadi haram ataupun sebaliknya. Seperti anggapan bahwa apa yg diberikan pihak laki-laki kepada calon istri ketika khitbah dianggap hadiah, bukan mahar.
-        Al ‘urf al fasid
Adat yang salah (fasid) Yaitu ‘adat (kebiasaan) yang dipakai tidak memenuhi salah satu syarat yang telah disebutkan di atas. Dalam hal ini, kebiasaan itu telah ada dan diakui dalam suatu masyarakat, namun bertentangan dengan ajaran Islam. ‘Adat yang dimaksud ini seringkali bertentangan dengan nash yang qath’i, sehingga tidak dapat dijadikan dalil untuk meng-istinbath-kan hukum. Misalnya, perbuatan-perbuatan yang munkar yang telah menjadi tradisi. Seperti tari perut di Mesir saat pesta perkawinan.




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan

Dari pembahasan di atas kami dapat menyimpulkan bahwa secara bahasa al-’adah berarti perbuatan atau ucapan serta lainnya yang dilakukan berulang-ulang sehingga mudah untuk dilakukan karena sudah menjadi kebiasaan sedangkan Kata ‘urf dalam bahasa Indonesia sering disinonimkan dengan “adat kebiasaan” namun para ulama membahas kedua kata ini dengan panjang lebar, ringkasnya: AI-’Urf adalah sesuatu yang diterima oleh tabiat dan akal sehat manusia dan didalam ‘adat mempunyai beberapa macam yang bisa dilihat dari 3 segi yang berbeda yaitu segi objeknya,segi cakupannya dan segi keabsahannya.






















DAFTAR PUSTAKA

Khallaf, Syekh Abdul Wahab. 2005. Ilmu Usul Fiqh. Jakarta; Rineka Cipta
Aen. M. A., Dr. I. Nurol dan Prof. Drs. H. A. Djazuli. 2000. Ushul Fiqh Metodologi Hukum  Islam. Jakarta; PT Raja Grafindo Persada
Haroen, M. A., DR. H. Nasrun. 1997. Ushul Fiqh. Jakarta; Logos Wacana Ilmu
Syarifuddin, Prof. DR. Amir. 2004. Ushul Fiqh Metode Mengkaji Dan Memahami Hukum Islam Secara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar